Hy lagi sobat-sobat. Ini post kedua untuk hari ini. Untuk Cerbung yang kemarin gimana? seru ga?. Kali ini author bukan post cerbung tapi cerpen. Cerpennya tentang lingkungan. Let's read...
Jam pelajaran yang membosankan.
Sebenarnya aku kasihan pada guru itu, raut wajahnya menunjukkan umurnya yang
sudah mulai tua. Akhir akhir ini guru itu sudah tidak begitu galak namun mulai
sangat berlebihan tentang lingkungan. Padahal biasanya ia sama sekali tak ambil
pusing.
Huh,
pelajaran guru itu makin menyebalkan saja. Terus terusan menyelipkan ceramah
tentang lingkungan di sela sela penjelasannya membuat pelajaran ini tambah
bikin pusing. Tinggal menunggu lima belas menit lagi menunggu jam istirahat
tiba, tapi rasanya ditangan guru ini waktu membeku.
“Pika,
bagaimana menurutmu cara menjaga lingkungan hidup kita. Supaya dapat kita
wariskan pada generasi kedepan?”
Dug..Dug...Dug...
konsentrasiku buyar, aku kaget. Dan yang terdengar hanya kikikan kecil di
belakangku karena melihat kekagetanku. Panik, tapi ingat ‘saat kau panik berusahalah menjadi tenang, atau kau akan dibuat lebih
panik. Fokuslah pada inti pertanyaan, jawab sebisanya dan tetap tenang’.
Itulah yang dapat ku pikirkan untuk menenangkan hatiku.
“Eng..
kita harus menanam pohon, atau setidaknya merawat pohon yang sudah ada. Hal ini
berguna agar udara di sekitar kita dapat menjadi lebih sejuk. Dengan udara
sejuk hidup kita lebih nyaman.” Jawabku singkat, bahkan tak tau apa yang kuucapkan.
Tapi kata “Bagus” yang keluar dari mulutnya serta anggukan meyakinkan membuatku
sedikit tenang. Dan kikikan itu masih saja terdengar. Itu sebuah kebiasaan,
saat seseorang menjadi gugup saat ditanya tiba-tiba oleh guru itu.
“Benar.
Pika, daya pikirmu cukup bagus. Ilmuan besar Newton menemukan teori grafitasi juga
karena terinspirasi dari buah apel yang jatuh dari pohonnya. Nah, jika kita
memperhatikan lingkungan sekitar kita juga akan mendapatkan inspirasi inspirasi
yang selanjutnya akan membangun dunia lebih baik.”
“Kalau begitu
tak ada salahnya kita menjaga, merawat, juga melestarikan lingkungan sekitar.
Ini juga untuk kebaikan bersama. Jangan ragu untuk menuangkan sisa air mineral ke
tanaman-tanaman yang belum disiram. Satu langkah kecil yang kita lakukanpun
akan bermanfaat untuk bumi kita.” serunya bersemangat. Namun, yeah dengan
kasihan aku tak melihat ada tanggapan. Semua mata hanya menatap kosong kearah
jendela. Tatapan-tatapan suram itupun diabaikan oleh guru ini.
“Baiklah,
masih tersisa kira-kira lima menit. Apa ada pertanyaan?” serunya antusias. Nah,
hanya ini lah satu-satunya kata yang dinantikan seisi kelas. Serentak mereka
menjawab dengan wajah berseri-seri “Tidak..!!!” dan itulah kata ajaib yang
mengakhiri pelajaran itu.
‘KRING...KRING....KRING’ tak lama
setelah guru itu meninggalkan pintu bel istirahatpun berbunyi. Suara bising
anak anak segera meninggalkan kelas.
“Bagaimana
rasanya? Akhirnya kau dapat giliran itu juga kan. Hahaha” seru suara manis yang
menghampiri mejaku. Suara yang sama denga suara kikikan tadi, suara Erika.
Sahabatku yang lucu dan cukup jail.
“Huh,
aku gak tau kalau ternyata rasanya jantungku lagi salto. Deg degan banget,
padahal kan pertanyaannya gampang. Tapi, kalo yang nanya dia kok aneh gitu ya?”
tanyaku pada Erika. “Hem.. entahlah. Tapi, menurutmu bagaimana dengan perubahan
sikapnya? Memang lebih jarang marah sih tapi jadi berlebihan soal lingkungan,
dan tentu saja pelajarannya tambah menyebalkan.” Erika balik bertanya.
Setelah
mereka melewati pintu kelas cuaca sangat panas segera menyambut mereka.
Awan-awan yang kadang menutupi matahari hanya menambah panas saja. Banyak guru
guru yang lebih memilih duduk di ruang guru ber-AC daripada ke luar. Kecuali
satu orang Pak Mori, saat panas terik begini guru paruh baya itu lebih memilih
menyiangi daun-daun tanaman hias yang ditanam didepan kantor guru.
Keringat
sebesar bulir jagung keluar tiada henti dari dahinya. Sesekali diusapnya
keringat itu dengan sapu tangan yang sudah lembab. Aku dan Erika saling
berpandangan. Ada niat membantu dihati kami. Tapi melihat Pak Mori sudah
beranjak masuk ke dalam dan mencuci tangannya di dekat pintu, kami urungkan
niat itu. Setelah dikeringkan tangannya ia melihat label belakang kemasan sabun
pencuci tangan, terlihat mengeluh tapi ditaruhnya lagi sabun itu. Nampaknya,
kelelahan juga sudah menimpa guru paruh baya itu, dilemparkannya tubuhnya ke
sofa empuk di sebelahnya. Entah apa yang dipikirkannya aku pun tak tahu.
Karena
sibuk memandangi guru itu kami tak memperhatikan jalan dan menabrak seseorang.
Endli, murid kelas sebelah. Kabarnya satu-satunya mahluk yang menganggap Pak
Mori guru yang mengagumkan. Kami cukup akrab dengannya.
“Hey,
kalian baru menabrakku.” Serunya tapi kami tetap memperhatikan Pak Mori.
“Hey... Hellow.... Any Body Home... Spada...” seru Endli penasaran denga
sikapku dan Erika. Suara Erika terdengar “En, kamu fans guru itu kan. Menurutmu
apa dia menjadi aneh? Tanyanya tanpa mengubah pandangan.
“Entahlah,
jadi lebih menarik kurasa” jawabnya singkat. Seruan kompak ‘Huuuu’ dariku dan
Erika membuatnya kaget.
“Oh,
sudahlah, kita akan menjadi manusia panggang kalau terus disini. Kalian mau ke
kantin?” Tanya Endli. “Ya ayolah Er” seruku menarik tangan Erika
“Hua....
kenapa dunia ini jadi panas banget sih?” keluh Erika. “Ya, kurasa guru itu ada
benarnya. Mungkin ini ciri-ciri pemanasan global.” Seruku mengipas-ngipas
wajahku dengan tangan.
“Iya,
kurangnya ruang hijau terbuka, kurangnya kepedulian masyarakat akan habisnya
hutan, dan lain sebagainya juga akan mengakibatkan pemanasan global. Memang
susah menumbuhkan rasa peduli pada masyarakat, apalagi di zaman modern seperti
ini.” Seru Endli agak sedih.
“Yeah,
hutan Indonesia juga banyak yang hilang akibat keegoisan masyarakat. Hutan
dibakar untuk dijadikan lahan perkebunan, Katu-kayunya juga diambil tanpa
menanam hutan yang baru. Huh, manusia memang kejam” seru Erika mulai semangat.
“Dih,
emangnya kamu apaan?” sindir Endli. “Eh, iya ya” jawabnya lucu. “Iya sih, kita
juga tanpa sadar ikut andil dalam pemanasan global. Misalnya berlebihan
menggunakan kertas dan tisu. Kertas dan tisu kan juga berasal dari pohon, yang
artinya semakin banyak kertas yang kita sia siakan semakin kita mempercepat
pemanasan global. Juga, penggunaan pupuk kimia dalam pertanian memang mempercepat
hasil pemanenan dan hasilnya mungkin lebih baik. Tapi tanpa sadar tanah di
lahan pertanian itu semakin lama semakin buruk kondisinya. Akhirnya lahan itu
ditinggalkan dan pohonpun tidak bisa tumbuh subur.” Seruku mengingat apa yang
pernah kubaca di sebuah situs internet.
“Huh,
ga disangka ya ternyata Pika juga tau banyak soal lingkungan” Kagum Endli tak
percaya. “Jangan gitu dong. Aku tahu banyak juga karena penasaran dengan sikap
Pak Mori. Aku juga ga terlalu Ingat semuanya. “Tapi aku ingat ada situs yang
mengabarkan bahwa di tahun 2007 Negara Indonesia pernah ditetapkan sebagai
Negara yang memiliki tingkat kehancuran hutan paling cepat di antara Negara
yang memiliki 90% dari sisa hutan di dunia dalam Guinness World Record. Hayo...
berarti parah banget kan kerusakan hutannya?” seruku.
“Iya,
tenggelamnya pulau-pulau kecil karena kenaikan permukaan air laut akibat
pencairan besar-besaran es di kutub, Intensitas badai yang tinggi akibat suhu
di laut semakin lembab, kekurangan bahan makanan akibat kekeringan yang
melanda, dan punahnya berbagai macam spesies akan mengancam seluruh dunia. Tapi
tetap saja masih ada yang tak peduli. Padahalkan manusia diciptakan untuk
memimpin dan mengatur bumi, tapi mengaturnya jangan berlebihan dong” Seru Erika
sambil melahap semangkuk bakso hangat yang sudah datang.
Kami
bertiga makan dengan hati cemas. Pantas saja Pak Mori mulai berlebihan tentang
lingkungan. Aku rasa itu bukan berlebihan, kalau semua orang tahu dan peduli
akan hal ini pasti akan mudah mencegah pemanasan global. Tapi bagaimana caranya
akan sangat susah dan menantang dan belum tentu mereka menanggapi dengan baik
dan antusias. Huh, tapi kalau tak segera pemanasan global akan cepat terjadi.
Akhirnya
setelah beberapa saat kami selesai makan. “Nah, gunakan tisunya secukupnya
saja. Untuk membantu Bumi lebih baik. Mulai besok upayakan bawa sapu tangan
jadi kita akan menghemat penggunaan tisu. Dan ingat jangan membuang-buang
kertas sembarangan.” Seruku mengambil sehelai tisu.
“Kurasa
bumi memang bener benar terancam bahaya ya.” gumam Erika lirih tapi cukup untuk
aku dan Endli dengar. “Yang tadi kita bicarakan baru pemanasan global lalu
bagaimana dengan pencemaran udara, penggunaan bahan kimia berbahaya, efek rumah
kaca, lubang ozon, dan bencana lainnya.” Lanjut Erika
“Yeah,
kita memang harus menjaga bumu dengan baik. Eng.. masih ada sepuluh menit
sebelum masuk, mau obrolkan ini dengan Pak Mori?” tanyaku melihat ke jam yang
ada di dinding kantin.
“Ya,
kita harus bergegas” seru Endli segera bangkit dari tempat duduknya. “Tunggu
aku harus beli air mineral, cuacanya panas sekali.” Seru Erika bergegas ke arah
counter di kantin. Setelah Erika datang mereka langsung menuju ruang guru.
Disana ada Pak Mori yang sedang memandangi tumpukan kertas di dekat kursi.
Melihat kedatangan kami, Pak Mori langsung bertanya “ Apa ada barangku yang
tertinggal di kelasmu Pika?” Tanya Pak Mori.
“
Eng.. tidak bukan itu” seruku gugup. “Kami ingin membantu bapak memperbaiki
lingkunag. Kami memang belum berpengalaman, jadi masih butuh bimbingan dari
bapak, bagaimana? Tanya Endli yang sudah terbiasa berbicara dengan Pak Mori.
“Oh,
syukurlah ternyata ada juga yang peduli tentang lingkungan selain aku. Bapak
sudah tua, tetapi kalian masih muda bapak sangat berharap pada kalian. Nah,
kalau kalian memang benar ingin membantu. Mari pikirkan apa yang akan kita
lakukan dengan tumpukan kertas itu?” Tanya Pak Mori
“Eng...
bisakah kita daur ulang menjadi kertas tebal lalu membentuknya menjadi tas
ringan, atau kreasi lain? Aku pernya membaca di internet dan aku ingat sedikit,
kalau aku lupa kita bisa lihat di situs itu lagi. Bagaimana?” Tanyaku
“Wah,
kebiasaan Pika mengubrak abrik internet ternyata berguna juga ya! Dari tadi
Pika banyak memberi Informasi lho.” Seru Erika. “Hehehe.. internet kan kalau
dimanfaatkan dengan baik bisa menjadi sumber Informasi yang berguna lho.
Internet memang punya sisi negative, tapi kalau kita bisa mencegah sisi
negative dan menggunakan dengan baik kita bisa mendapatkan segudang informasi.”
Seruku.
“KRING...KRING...KRING” bel masuk pun
berbunyi. Mereka segera pamit sambil membawa tumpukan kertas tersebut. Mereka
membuat janji untuk membuat daur ulang itu nanti sore di rumah Endli. Didepan
kelas Endli mereka berpisah.
***Setelah beberapa hari
Akhirnya
usaha mereka untuk mendaur ulang kertas itu berhasil. Hasil penjualannya
digunakan untuk membeli bibit pohon. Mereka juga menjalankan aksi tanam seribu
pohon. Memang masih banyak teman-teman yang tak pedili namun mereka tak akan
pantang menyerah!!.
LET’S
SAVE THE WORLD
GUYS
Eits, jangan lupa untuk klik g+ dan komen ya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar